Jakarta, – Insiden kerusuhan yang terjadi pada 21-22 Mei menelan delapan korban jiwa. Tiga di antaranya terkonfirmasi terkena tembakan peluru.
Rabu (22/5/2019) pagi, kala ricuh agak mereda, sejumlah warga memang menemukan selongsong peluru yang berserakan di Jalan Jatibaru, Jakarta Pusat. Kekhawatiran atas temuan selongsong itu pun bermunculan. Sebagian pihak menganggap bahwa selongsong peluru itu sebagai bukti bahwa polisi menembakkan peluru tajam.
Kepolisian RI lalu membentuk tim investigasi khusus untuk menyelidiki dugaan selongsong peluru tajam yang ditemukan di lokasi kerusuhan, bahkan diduga melukai sejumlah massa. Sebab, sejak jauh-jauh hari, aparat keamanan yang ditugaskan untuk menjaga aksi sudah dilarang menggunakan peluru tajam.
Sehingga, polisi membantah personelnya menembakkan peluru tajam. Larangan Penggunaan Peluru Tajam juga tertuang dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 16 tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa.
“Membawa senjata tajam dan peluru tajam,” bunyi pasal tujuh.
“Bapak Kapolri sudah bentuk tim, membentuk tim investigasi yang dipimpin oleh langsung Wakapolri. Untuk mengetahui apa penyebabnya dan semua aspek sehingga ada korban dari massa perusuh,” kata Kadiv Humas Polri Irjen Pol M Iqbal saat konferensi pers di Kantor Kemenkopolhukam, Jakarta Pusat, Kamis (23/5/2019).
Iqbal juga memastikan, para korban yang tewas merupakan perusuh yang membuat kericuhan, bukan massa aksi damai yang tertib dan taat aturan.
Di hari yang sama, massa perusuh di kawasan Slipi, Jakarta Barat, sempat menyerang sebuah mobil polisi berisi amunisi peluru tajam. Mobil itu kemudian dirusak dan peluru dijarah oleh perusuh.
Namun Iqbal menegaskan peluru-peluru itu tidak disiapkan dalam pengendalian massa kericuhan. Sehingga, kata dia, peluru itu bukan bagian dari personel pengamanan.
“Ada pengerusakan pembakaran mobil brimob yang diparkir, termasuk kendaraan dinas komandan batalyon, di dalamnya memang ada satu kotak peluru tajam, peluru tajam ini tidak dibagikan kepada seluruh personel pengamanan, tidak dibagikan kepada seluruh personel pengamanan,” kata Iqbal.
Iqbal menegaskan, Polri dan TNI yang terlibat dalam pengamanan aksi tidak dibekali dengan senjata api, apalagi peluru tajam. Mereka hanya dibekali dengan alat-alat pengendalian massa seperti tameng dan pentungan.
“Peluru tajam hanya dimiliki tim antianarkis, dan tim antianarkis itu pada dua hari dua malam demonstrasi unjuk rasa tidak keluar sama sekali, itu ada di komando. Mereka keluar atas perintah Kapolri kepada Kapolda, Kapolda pada Kasat Brimob, melihat prinsip proposional,” tuturnya.
“Nah terkait peluru tajam yang SOP-nya disimpan oleh Danyon, itu ia akan mengarah tim antianarkis. Tetapi ia melihat situasi di Slipi dan terpanggil untuk melakukan briefing personelnya, tapi massa menyerang dan itu semua dijarah oleh perusuh,” ungkap Iqbal.
Adapun, ia menilai, penggunaan peluru tajam sebenarnya diperbolehkan dengan tujuan untuk melindungi masyarakat dan petugas yang nyawanya terancam. Anggota polisi yang terpaksa menggunakan peluru tajam juga harus mempertanggungjawabkan tindakannya itu.
“Ya kalau misalnya seketika itu juga saya, Iqbal ini melihat seorang masyarakat yang dibacok oleh perusuh, ingin dibacok, per detik saya harus melakukan tindakan tegas diskresi saya harus dilakukan dengan peluru tajam. Itu adalah pengambilan keputusan sendiri, pilihan sendiri,” tutur dia.
Sumber/ Kumparan