Pemindahan Waruga Dimulai Dengan Upacara Adat

oleh -1007 Dilihat
Waruga yang dipindahkan karena lahan yang dilewati proyek Tol Manado-Bitung.

MINUT-Upacara Adat pemindahan Waruga di Area Mata Air Maklentuay atau Kumelembuay (dalam bahasa Tounsea artinya Air muncrat dari tanah, sekarang diaebut Airmadidi), dilaksanakan masyarakat dan pemerintah Kelurahan Airmadidi Bawah Kecamatan Airmadidi, Minut, Rabu (31/1/2018) lalu.

Dikawal Ketua Umum Ormas Adat MAPATU (Masyarakat Adat Pakasaan Ne Toun Sea), Stenly (Endi) Lengkong dan Penasehat Adat Hermanus Dendeng Pensiunan TNI AU, Anggota DPRD di Sulaweai Selatan, serta pernah menjadi Lurah Dendengan Luar Manado, dan Hukumtua Kaima, dibawah komunikasi spiritual mediator (Tonaas) Adat Rinto Taroreh, Ritual Pemindahan situs makam para leluhur Bumi Malesung (Sulawesi Utara) yang dikenal dengan nama WARUGA, berlangsung penuh hikmat.

Ritual beraroma Agama lewat bermacam doa berbahasa Toun Sea (baca Tonsea), berkumandang sejak pukul 03.00 wita (jam 3 subuh).

“Pemindahan yang dilakukan bukanlah sesuai keinginan kami, Jam, hari dan tanggal (bulan) pemindahan sesuai komunikasi kami dengan para leluhur disini,” jelas Tonaas Rinto Taroreh.

Kemudian tim adat yang sudah ditunjuk untuk pencarian, menemukan ada 17 Waruga dalam keadaan sudah tidak utuh, sudah tumpang tindih.

Setelah diijinkan pindah oleh leluhur dengan syarat para pengawal adat harus memikul waruga dengan buluh (bambu) dengan tali kemudian di arak jalan kaki ke lokasi pemindahan,

“Bahkan ada beberapa sudah hancur dan berantakan, gara-gara proses alam dan penjarahan besar-besaran di zaman Permesta (bukan dilakukan oleh Permesta), dan pencurian pusaka Purbalaka di tahun 1970-an,” katanya.

Tonaas paling muda di Sulut (Rinto red-), dari komunikasinya dengan para leluhur (DOTU) di Maklentuay, mengatakan mereka merupakan cikal-bakal lahirnya (Suku Tonsea Teranak Airmadidi Raya).

“Waruga-waruga ini dipastikan ada ditempat ini dari perbukitan Kadimbatu dan Makararang pada tahun 1058, dengan pimpinan OPO MAKARARANG selaku tetua kalau sekarang disebut Hukumtua. Perlu diketahui, para kumtua dulu dipilih berdasarkan kelekuargaan. Siapa paling banyak jumlah saudara, maka dialah yang jadi kumtua,” beber Taroreh.

Dalam upaya memindahkan Waruga, lanjut Tonaas kharismatik ini, ada dua (2) yang tak dapat dipisahkan, yaitu miliki hati harus bersih dan tulus, kemudian harus tau cara memindahkan.

“Biar hati bersih tapi tak tahu cara, atau sebaliknya, tahu cara tapi hati tidak bersih alias tidak tulus, akan membawa bahaya bagi siapa saja yang terlibat dalam ritual tersebut,” ujar Taroreh.

Selaku pemrakarsa pemindahan waruga-waruga Maklentuay, Stenly Lengkong, mengaku sangat bersyukur karena para sesepuh dan leluhur, setuju dipindahkan tanpa ada penolakan sekecilpun.

“Lewat komunikasi spiritual, kami jelaskan kepada para leluhur bahwa Upacara ‘I Tutul Sumaup dan Mera Waruga’ yang artinya, memindahkan dan memperbaiki Waruga ini demi melestarikan cagar budaya leluhur yang memiliki nilai sejarah dan historis yang tinggi. Mereka setuju namun berpesan, agar supaya kelestarian tersebut diwariskan sampai ke anak-cucu kita yakni menjelaskan kepada anak-anak bahwa torang samua di Airmadidi Raya ini, berasal dari Satu Dotu, supaya nyanda baku-baku salah,” urai Lengkong bersemangat.

Terkait relokasi Waruga Maklentuay yang dilakukan tanpa berkordinasi dengan pihak terkait seperti Dinas Pariwisata dan Dinas Pendidikan, kata Lengkong lagi, itu memamg disengaja, namun selain karena waktu yang diberikan para leluhur cukup singkat, pihaknya juga enggan menyibukkan Pemda, sementara pihak pelaksana Mega Proyek Jalan Tol sudah diburu waktu.

“Kami lebih memprioritaskan bagaimana mengatur pelaksanaan upacara pemindahan ini. Nanti setelah semuanya beres, baru kita serahkan ke pemerintah untuk di infentarisir sebagai salah satu bagian dari daerah bahkan Negara Republik Indonesia seperti Waruga-waruga lainnya di Tanah Kumelembuay ini. Kami juga berterimakasih kepada PT Waskita yang sudah berperan penting dalam peoses relokasi situs-situs bersejarah ini,” tandas Lengkong.

(redaksi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.