Tahun Politik: Mencipta Sejarah, Membawa Harapan Baru ? Merawat Sejarah, Merajut Luka Lama?“

oleh -113 Dilihat
Richard Nelwan, S.H, M.H, CEO & Co-Founder Wain Advisory Indonesia (WAIN).

DALAM waktu kurang dari 2 bulan, tahun 2017 berakhir. Bagi sebagian orang ini pertanda tahun yang baru, meninggalkan semua memori di tahun lama, dan dengan semangat serta optimis baru menyongsong tahun 2018.

Bagi para pelaku, mantan pelaku, dan yang “mau” jadi pelaku politik, tahun ini maupun tahun depan tak sesederhana itu. Pengunjung tahun ini dan keseluruhan tahun 2018 adalah suatu momentum politik “5 tahunan” yang sayang di lewatkan percuma, apalagi hanya ditonton. Pantas jika pengunjung tahun 2017, seluruh tahun 2018, dan sebagian tahun 2019 disebut sebagai Tahun Politik.

Dalam beberapa minggu terakhir, WAIN telah melakukan beberapa penelitian sederhana. Ditemukan bahwa frekuensi pembicaraan isu public dengan “muatan politik” mengalami peningkatan, jika dibandingkan dengan bulan, hari, dan tanggal yang sama pada beberapa tahun sebelumnya. Sekalipun banyak variabel lain yang dapat menjadi faktor yang mempengaruhi peningkatan tersebut, setidak-tidaknya kami dapat menarik kesimpulan sederhana bahwa, “tahun ini adalah tahun yang “seksi”, yaitu tahun yang sangat menarik secara politik”.

Telah kita ketahui bersama bahwa, pemilihan umum (pemilu) legislatif, Pemilihan Presiden di tahun 2019, dan Pemilihan Sebagian Kepala Daerah di tahun 2018 yang tahapan rangkaiannya telah dan akan dimulai pada tahun 2017 dan tahun 2018, adalah faktor utama peningkatan tersebut. Ditambah lagi adanya beberapa dinamika politik beberapa tahun terakhir yang berimplikasi pada regulasi, telah kembali banyak mengubah peta dan strategi politik (pemilu serentak, threshold, pilkada serentak, dan lain sebagainya). –

Pada kesempatan ini penulis tidak akan membahas mengenai alasan atau spirit lahirnya kebijakan dan regulasi tersebut, hanya sebagian daerah yang dapat merasakan euforia pesta demokrasi dalam keseluruhan jenjang dan tahapannya, dan daerah Sulawesi Utara salah satunya.

Dalam konteks Sulawesi Utara (SULUT), hal ini sangat dirasakan. Selain keterlibatan dalam pemilu dan pilpres nantinya, pada beberapa daerah di Sulut juga akan digelar pemilihan kepala daerah. Masyarakat Sulawesi Utara nantinya akan disodorkan begitu banyak nama, pada level yang berbeda-beda, dengan platform politik maupun partai yang sedemikian rupa banyaknya.

Tahun 2019 akan menjadi awal sejarah baru dalam perpolitikan di Indonesia. Untuk kali pertama, publik Indonesia akan dilibatkan dalam suatu pesta demokrasi akbar, dimana Pemilihan umum Legislatif, Pemilihan Presiden, dan Kepala Daerah (tahun 2018) akan digelar secara bersama dan serentak di seluruh Indonesia. Dalam hal ini sekalipun pilkada serentak akan dilaksanakan pada tahun 2018, namun ini menjadi salah satu pertarungan penting dalam menentukan elektabilitas dan probabilitas pemilu legisltatif dan presiden di tahun 2019 nanti, apalagi daerah-daerah paling “krusial” pada politik Indonesia, karena punya sumbangsih besar dalam mendulang suara, seperti Jawa Barat dan Jawa Timur juga akan melaksanakan pemilihan kepala daerah (Gubernur) pada tahun 2018 nanti.

Jika ini memang betul terjadi, merujuk regulasi dan tahapan yang sudah dilewati, memang hampir pasti terjadi, maka akan begitu banyak konsekuensi politik yang akan dirasakan oleh para stakeholders, terutama secara umum oleh Masyarakat dan Partai Politik. Bagi Partai Politik, butuh strategi dan pemikiran yang matang, tepat, dan sangat terukur untuk kembali dapat memenangkan hati dan kepercayaan publik, disisi lain masyarakat, akan dituntut sedemikian rupa untuk mampu menentukan pilihan yang begitu variatif dengan variabel yang begitu luar biasa banyaknya.

Berdasarkan beberapa kajian yang sudah dilakukan oleh WAIN, secara umum, setidak-tidaknya ada 2 isu penting yang akan dihadapi oleh Partai Politik dan masyarakat. Pertama, Partai politik nantinya akan dihadapkan dengan dilema konsistensi sebagai “lembaga” kaderisasi, ditengah tren politik dunia maupun Indonesia yang justru mengarah pada “figur(isasi)”, belum lagi adanya ruang politik calon independen kepala daerah yang menurut data pilkada sebelumnya “laku” dan “dibeli” oleh publik.

Sementara itu, disisi lain partai politik harus mampu bersaing dengan sistem demokrasi “populis” dimana setiap orang memiliki hak menentukan pilihan, dan disisi lain pemenang (terpopuler) lah yang menjadi sang “juara” demokrasi.

Keadaan ini menjadi ujian berat bagi partai politik dalam menghadapi percaturan politik Indonesia tahun 2018 maupun 2019, dimana taruhannya adalah legitimasi. Kecermatan partai dalam menentukan strategi dan sikap politik pada setiap tingkatan (daerah dan nasional) menjadi sangat penting. Sehingga, sederhanya bagi kami, salah satu isu terpenting yang harus dihadapi partai di tahun politik ini adalah “ Inkosistensi dan Delegitimasi Partai”.

Akibat fenomena dan tahun politik ini, isu penting kedua adalah, bahwa masyarakat sebagai penentu dan “asesor” dalam hajatan akbar ini akan dihadapkan dengan dilema atau kebingungan atas sikap keberpihakan pada partai politik, kecintaan pada figur tertentu, ataupun ketaatan pada nilai-nilai sosial masyarakat yang ada. Belum lagi dilema ini ditambah pada faktor sosial dan psikologis masyarakat.

Beberapa penelitian sosial masyarakat yang pernah dilakukan WAIN, ditemukan bahwa masyarakat Indonesia secara keseluruhan, memiliki sikap politik yang sangat “patronase” (berpatokan pada hal tertentu) dan memiliki taraf independensi dalam menentukan pilihan politik yang sangat rendah. Ketika semua permasalahan ini disandingkan dengan keadaan politik tahun 2019 yang serentak, jelas akan menjadi permasalahan dan kebingungan tersendiri bagi masyarakat. Sehingga, sederhanya bagi kami, isu penting lainnya, yang harus dihadapi masyarakat di tahun politik ini adalah persoalan “dependensi dan ambiguitas”.

Inkonsistensi partai adalah berbicara dilema kelembagaan sebagai lembaga kaderisasi yang sudah seharusnya mengutamakan nilai-nilai dan ideologi perjuangan partai, sedangkan disisi lain sistem demokrasi Indonesia dan sistem hukum yang ada memberikan ruang bagi orang per orang untuk tetap memperjuangkan keyakinan dan cara politiknya sendiri, sehingga melahirkan figur—figur politik yang independen dan mandiri, yang turut membawa bargain
politik yang tidak “main-main”.

Sementara itu, tren politik dunia dan Indonesia jelas memberikan fakta bahwa figur (isasi) atau penokohan suatu individu, menjadi pilihan politik yang tak kalah menarik, dimana tanpa strategi dan sikap yang tepat hal ini dapat menyebabkan suatu delegitimasi pada Partai Politik. Dependensi masyarakat adalah berbicara pilihan dan sikap politik yang masih sangat ditentukan oleh berbagai faktor sosial lainnya. Kebergantungan ini turut menciptakan kurangnya independensi individu dalam menentukan sikap dan pilihan politiknya.

Selain itu, dengan adanya beberapa perubahan sistem dan regulasi poltik di tahun 2019 nanti, turut kembali menambahkan isu baru dalam masyarakat, dimana akan terjadi suatu anomali pada masa transisi sistem politik dimana masyarakat akan mengalami kebingungan/ambiguitas dalam menentukan sikap politiknya. Sekalipun hal ini memang pasti terjadi dalam setiap masa transisi sebagai suatu proses “pembelajaran” atau “pendidikan” politik bagi publik, namun apabila tidak mampu disikapi dengan tepat dan cepat oleh para stakeholders, maka jelas akan tercipta suatu distorsi politik dan tentu akan sangat mempengaruhi kualitas demokrasi dan politik di Indonesia.

Dari 2 permasalahan ini, antara Inkonsistensi dan Delegitimasi serta Dependensi dan ambiguitas, yang masing-masingnya ada pada Partai dan Masyarakat, perlu disikapi secara cepat dan tepat. Kecepatan dan ketepatan ini menjadi penting, mengingat kualitas demokrasi Indonesia di tahun 2019 dan seterusnya, akan sangat ditentukan oleh berbagai upaya dan sikap yang diambil pada tahun-tahun politik ini.

Pada akhirnya, para stakeholders, terutama Partai dan Masyarakat harus mampu menjawab sendiri apakah tahun politik ini adalah menciptakan sejarah dan membawa harapan baru, ataukah hanya merawat sejarah dan sekedar merajut luka lama? Dalam konteks kedaerahan, jawaban apa yang akan disodorkan Sulawesi Utara?

Jakarta, 10 November 2017
Richard Nelwan, S.H, M.H
CEO & Co-Founder
Wain Advisory Indonesia (WAIN)

(*)

No More Posts Available.

No more pages to load.